MATAHARI
Amalina Farahiya/SMP 9 YOGYAKARTA
Sang surya sudah tidak menampakkan sinarnya lagi ketika aku sudah sampai di rumah setelah menggayuh sepeda jinggaku ini. Terlebih bau badanku yang buat orang mual ketika berada di dekatku. Rasanya sangat capek sekali setelah seharian sekolah ditambah les setiap pulang sekolah. Penderitaan ku ternyata belum juga selesai ketika ibu memanggilku, “nduk kamu tu seko ngendi to kok jam semene lagi bali ?” ohh, tidaaak ! sepertinya ibu belum berubah, tetap saja pelupa, padahal tadi siang aku sudah mengsmsnya lewat hape Ndari.”aku kan tadi ues matur to buk”jawab ku seadanya. Jujur aku memang tak bisa berbahasa jawa yang baik dan benar, aku hanya bisa sedikit-sedikit lagi pula hari gini masa masih pake bahasa jawa ? apakata dunia ?!”heh! opo ibu mboten nate ngajari koe basa nduk? Koe ki lagi matur karo sopo ta?”aduhh, gawat nih kalau sudah seperti ini, “eehh, ngapunten bu, kula niki sampun kesel sanget, kula nyuwun idhin bade ngaso rumiyin”begitu aku selesai berucap ijin tak sempat ku menunggu jawaban, aku lagsung berjalan gontai menuju kamarku untuk membersihkan badan. Ahh, sudah capek, badan lengket, kena marah ibu lagi, sepertinya lengkap sudah penderitaan ku ini.
Namaku Diah, lengkarpnya RR.Diah Rahmawati, ya namaku bergelar Raden Rara karena keluarga ku adalah keturunan ningrat, tapi aku tidak bangga akan gelarku itu, aku pun tak tinggal dikawasan Benteng karena hanya ibu ku saja yang keturunan ningrat. Aku anak ke dua dari tiga bersaudara, kakak ku memakai gelar Raden Mas dan adikku bergelar sama seperti ku. Setiap aku berbicara dengan orang tua ku, aku harus menggunakan bahasa jawa krama alus, padahal aku tak dapat berbicara dengan fasih dan aku tak suka itu. Teman-teman disekolah hanya sebatas tau bahwa aku adalah keturunan ningrat. Sebetulnya ada banyak sekali peraturan di rumah yang harus selalu aku patuhi. Ibu selalu bilang “koe kui bocah wadon, dadi nek lungo-lungo ki yo klambine sing sopan, ojo tiru-tiru kanca-kancamu!”lalu ibu juga pernah bilang kalau anak perempuan tak boleh pulang malam-malam, tak boleh banyak bermain dengan anak laki-laki padahal aku ini sudah berumur 13 tahun, masa’ aku harus diatur sana sini. Aku ini sudah besar pak bu !bahkan aku sampai saat ini belum diberi handphone, padahal teman-teman ku tak ada yang belum memiliki handphone, aku tak mengerti dengan keluarga aneh ini.
“kringgggg…”tepat pukul setengah enam pagi alarmku berbunyi, sial! Rasanya inginku banting saja alarmku ini. Tapi aku segera bergegas menuju kamarmandi sebelum ibu menghampiriku dengan sebuah gayung dan menyiramku, dulu aku pernah disiram ibu karena jam enam aku belum bangun dari tidurku padahal itu hari Minggu tapi kata ibu tetap saja seorang perempuan tak boleh bangun ngepluk dan kata mas Suryo nanti rejekinya bisa dipatok ayam. Benar-benar keluarga gila! Memang ibu yang sering bahkan setiap hari menasehatiku, katanya aku ini anaknya yang paling ndableg dan sembrono. Apalagi jika sudah bertemu eyang kakung, wahh, bisa habis aku ini, tapi eyang kalau eyang uti lebih sedikit pengertian dibanding ibu. Padahal aku hanya ingin kebebasan dari adat-adat jawa yang sama sekali tak penting bagiku. Setelah selesai mandi aku menghampiri kamar mas Suryo karena ingin meminjam laptopnya.”heee! sopo akon mlebu kamar uong langsung mlebu! Glendhang glendheng koyo maling wae!”ternyata dia kaget”sori mas, lali e, hehe. Lagi opo mas ketok e sibuk banget? Aku meh nyilih laptop ki”jawab ku dengan senyuman maut, “lali wae! Koyo simbah-simbah kakean mangan brutu, haha. Wahh, raiso! Lagi tak nggo nggawe skripsi”ahh, sial sekali, mas Suryo sekarang sedang sekripsi memang, dia kuliah di Fakultas Sastra Jawa dan dia bangga akan hal itu.”wahh,brutu barang digowo-gowo, yowes lahh bejo ku ki sajak e, woo mengko tak kandakke ibu lho mas, sing lalen kan ibu, haha”. Aku keluar dari kamar mas Suryo berniat memikirkan rencana pergi ke rumah Riska, tapi apa mungkin aku bisa mendapat ijin dari ibu ya? Ada baiknya bila ku coba terlebih dahulu. “Bu, kula badhe kesah ten griyanipun Riska, angsal mboten nggih?”saat itu ibu sedang membaca Koran, “opo?lungo wae! Saiki dina Minggu, kudune koe saiki ngresik i karmar mu sing koyo kapal pecah kae lho nduk! Kok malah dolan wae to, wong koe yo wes kelas telu, meh golek SMA ta?mbok mas mu kae ditiru!”habis sudah aku kalau ibu sudah bicara seperti ini. Wita, adikku hanya tersenyum sinis seperti berkata, “haha, sukur koe! Koe ki mung anak angkat! Haha”ngeri ku membayangkan bila itu benar terjadi. Gagal semua rencanaku. Padahal di sana akan ada pesta kecil-kecilan untuk merayakan hari ulang tahunnya, yang diundang saja hanya aku, Ndari dan Dita. Ahh, benar-benar hari Minggu yang sial!
Hari Minggu kemarin ku habiskan dengan membaca novelku yang pernah kubaca karena aku belum punya novel yang baru, aku masih ngambek sama ibu. Kenapa sih ibu selalu jahat pada ku? Memang aku anak yang tak pantas dibanggakan, aku tak punya prestasi apapun, pernah sih sekali aku menjurai lomba menyanyi dan ibu langsung sangat baik padaku. Sampai sekarang aku masih heran dengan keluarga ku yang aneh. Mulai dari ayahku yang suka memelihara burung perkutut, ia sampai rela menjual motor vespa kesayangannya hanya demi perkutut sialan yang pernah menjatuhi ku kotorannya tepat diatas kepalaku, lalu ibu, yahh ibu adalah sosok yang galak dan pelupa dan aku benci itu. Adikku, Wita walapun dia masih SD tapi dia sangat pandai nembang jowo sampai-sampai kejuaraan antarRT hingga se-DIY pernah dijuarainya dan orang tuaku sangat membanggakannya. Yang terakhir mas Suryo, yahh setidaknya dia tak separah yang lain. Dia anak kebanggan ibu karena dia berhasil masuk di Fakultas Sastra Jawa.
Masalah pagi ini telah dimulai ketika aku duduk di dekat Riska sambil meletakkan tasku. “Wahh, kayaknya gampang banget ya ngelanggar janji tuh, seakan aku nggak dianggep temennya mungkin ya?”aku tak tau apa maksut pembicaraan Riska, “waduhh iya sihh Ka! kayaknya, kita udah bukan temennya lagi kali’”kata Ndari. Riska, Ndari dan Dita pun meninggalkan ku sendirian yang barusan datang. Aku baru ingat sekarang! Pasti karena aku tak datang ke pesta ualang tahunnya Riska! Ahh , ini semua karena ibu! Aku pun tak sempat menjelaskan pada mereka bahwa aku tak diijinkan oleh ibuku. Selama pelajaran aku tak bisa konsentrasi karena sahabat-sahabta terdekatku menjauhiku. Aku tak punya teman sekarang, pasti ibu senang karena aku tak bisa main keluyuran kemana-mana. Bel pulang sekolah berbunyi dan aku tak tau harus melakukan apa ketika aku berjalan melewati sahabatku. Hari ini aku pulang cepat, sampai rumah sebisa mungkin aku menghindari orang rumah karena aku tak mau menambah masalah, tapi aku tak bisa menghindar bapak melihatku walaupun saat itu beliau sedang bermain-main bersama perkututnya, “ndengaren nduk kok wis bali? Rak rapopo ta?”bapak ibu sama saja! Tak ada yang bisa mengerti diriku, aku hanya menjawab, “mboten napa-napa pak”dan langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Aku hanya bisa menangis selama di dalam kamar sambil menulis Diary, Senin 17 September, 2009 aku benci keluarga ini! Semua menyebabkan rumah ini seperti neraka! Aturan-aturan yang tidak penting! Apa harus keturunan ningrat diwajibkan mematuhi adat dan harus dilakukan? Semua aneh! Seperti tak ada yang perhatian pada ku! Tak ada yang sayang padaku!
Ketika ku terbangun paginya dan aku berada di kamar mandi, aku melihat wajahku di cermin dan ternyata mataku bengkak! Ohh, tidak, pasti ini karena aku menangis semalaman. Bagaimana ku dapat menyembunyikan dari orang rumah? Aku tak mau ditanya macam-macam dan nantinya akan terjadi sebuah masalah hebat. Aha! Aku ingat, aku masih punya obat tetes mata. Kuteteskan saja, mungkin sedikit bisa membantu. Aku sudah siap berangkat ke sekolah dengan sepeda jingga ku, dan untungnya obat tetes mataku manjur! Ibu dan bapak jadi tidak curiga dan tak menanyaiku yang aneh-aneh. Sampai di kelas sahabat ku masih tetap menjauhi ku dan tak menggubrisku samasekali. Aku sekarang duduk dengan Sekar, salah satu siswi yang pandai namun ia sedikit kuper. Pelajaran hari ini dapat ku ikuti dengan baik, hingga saat istirahat Dita menghampiriku, Dita memang sahabatku satu-satunya yang tak menjauhiku seperti Riska dan Ndari.”maaf ya Di, aku tak bisa bicara banyak aku hanya disuruh Ndari dan Riska untuk menyampaikan ini padamu, kita masih memberimu kesempatan, besok sore kita mau nonton film di biosokop, kita tunggu jam 3 di taman biasanya ya” setelah Dita selesai bicara ia langsung meninggalkanku. Haduhh, aku bingung dengan sikap mereka. Masak memaafkan sahabat saja pakai syarat segala. Tapi tak apa lah, barangkali itu dapat mengubah nasibku. Hari ini aku juga masih pulang cepat, saat di jalan bapak mengsmsku agar aku membelikan pakan burung perkututnya, katanya kalau sampai di rumah akan ditukar uangnya. Jadi aku harus mampir dulu ke warung pakan burung. Bapak memang selalu menyuruhku untuk membeli pakan burungnya”niki Pak pakan kangge manuk e”kata ku pada bapak sambil menyerahkan bungkusan berisi pakan burung. “Piro koe le tuku nduk?”aku berkata jujur”gangsal \welas pak”kali ini bapak membaca koran”oh, yo koe njaluk o ibu mu wae yo!”bapak pergi meninggalkan ku menuju sangkar burung perkutut yang dicintainya melebihi cinta pada anaknya sendiri. Oh ya, apa kata bapak tadi? Minta ibu? Mendingan tak usah diganti saja daripada berurusan sama ibu dan ditanya ini itu.
Adzan magrib terdengar dari kamarku dan mas Surya membangunkan ku, “Di, tangi dhek! Wes surup iki! Ora ilok nek wayah semene turu”apa kata mas Surya? Surup? Jam berapa ini? Aku membuka mata dan melihat jam di dinding yang ternyata menunjukkan pukul enam petang. Ahh, aku tak bisa bayangkan! Besok aku sudah tak punya sahabat! Aku tak akan punya siapa-siapa lagi. Tidak! Aku tak akan membiarkan itu terjadi, aku segera mengambil hape dan menelpon Riska, tersambung tapi direject begitu juga dengan Ndari, terakhir aku hanya berharap pada Dita. “halo?Dita, maaf Dit aku tadi ketiduran, kalian masih mau nganggep aku jadi teman kan? Tolong ngertiin aku ya”aku langsung menyerbu Dita, “waduhh, sebetulnya aku udah nggak boleh ngomong sama kamu, tapi aku kasihan, maaf ya ini sudah keputusan bersama, padahal kami sudah memberi mu kesempatan, maaf ya Di, tut..tut..tut..”terputus ! lengkap sudah penderitaan ku! Tak tahu lagi harus bagaimana, aku memutuskan kabur dari rumah dan mengemasi beberapa pakaianku. Dengan ijin pada orang-orang rumah bahwa aku akan menginap di rumah Riska, awalnya mas Suryo tak percaya, tapi akhirnya ia percaya dan mas Suryo lah yang mengantarkan ku kabur. Aneh bukan? Ada orang kabur dari rumah pakai diantar segala, tapi tak apa lah yang penting aku bisa pergi dari semua ini. Aku minta diturunkan di dekat rumah Riska. Setelah itu aku berjalan menyusuri malam seorang diri. Tiba-tiba ada seorang ibu-ibu setengah baya penjual makanan menghampiriku”ee, cah ayu, koe kok jam semene isih ning njaba ki pripun?sampean mboten ilang ta?”untung aku bisa mengerti apa yang ibu itu bicarakan, “inggih bu, ngapunten nggih, kula badhe ten mriki sekedap angsal mboten?”kataku pada ibu itu, “nggih, angsal kok cah ayu, lha sampeyan niku kok dereng bali niku pripun? Ana masalah yo? Karo pacar e iki mesti?”langsung saja ku jawab dengan cepat, “dede bu, kula mboten gadah pacar, pripun nggih kula critanipun, mboten penak e”ibu itu tersenyum, “aku ki yo ndue anak sak padaha koe iki nduk, kadang aku bingung kala putri ku yen sikap e aneh, tapi sue-sue aku iso ngerti, crita wae nduk , pie?ana masalh apa?”lalu semua masalahku kuceritakan pada ibu penjual makanan itu dan ia memberi nasehat padaku bahwa kabur dari rumah adalah bukan jalan untuk menyelesaikan masalah lagi pula aku ini sudah kelas tiga dan sebentar lagi mau ujian. Malam itu terasa malam terburukku sepanjang sejarah, memang berlebihan sih, tapi kabur dari rumah dengan tidak membawa uang yang banyak dan alat komunikasi itu sama saja bahwa aku ini anak yang tersesat. Aku pamit pada ibu penjual makanan itu, sebetulnya beliau meminta ku untuk tidur dirumahnya saja bebrapa hari, tapi aku malu dan memutuskan untuk mencari tempat untuk istirahat. Dalam kesendirianku aku berjalan dengan sejuta lamunan, angin malam terasa menusuk kulitku, dingin sekali malam ini terasa sampai di ruas-ruas tulangku.
Ayam telah berkokok menunjukkan bahwa ini sudah pagi. Hari ini hari kedua setelah aku kabur dari rumah, aku terbangun dari tidurku. Semalam aku memutuskan tidur di emperan toko dengan beralaskan koran yang kubawa beberapa lembar dari rumah, sekarang aku tak punya siapa-siapa, aku hanya gadis keturunan ningrat yang sekarang menjadi gelandangan. Cacing-cacing di perutku sepertinya sudah tak sabar dan segera menggelar konsernya, aku berjalan ke warteg pinggir jalan dan membeli nasi. “tuku opo koe? Ora oleh ngutang!”ujar penjual warteg tersebut dengan kasar. Memang tampang ku ini seperti tak mampu bayar apa?! Ahh, mungkin ini gara-gara penampilan ku yang seperti gelandangan ini. Aku membeli sebuah nasi bungkus dan air mineral lalu aku memakannya di warteg tersebut. Setelahku membayarnya aku segera meninggalkan warteg yang penjualnya galak itu. Siang itu matahari terasa menyengat, dan aku belum mandi. Tiba-tiba mataku berkunang-kunang dan aku merasakan pusing.
“Dhek..dhek? sadar dhek?”ada suara seorang laki-laki ketika ku membuka mata. Aku tak tau apa yang terjadi, tapi sepertinya kamar ini terlalu familiar untukku, setelah aku benar-benar sadar laki-laki itu menceritakan apa yang terjadi padaku. Tenyata aku tadi terjatuh pingsan saat berada di pinggir jalan. Pintu kamar yang kutempati terbuka, dan yang muncul dari balik pintu adalah…eyang uti !ini adalah rumah eyang!jadi yang tadi itu Mas Karyo pembantu di rumah eyang, “koe ana masalah apa nduk? Cerita kene karo eyang, awak mu nganti kaya ceret umup ngene ki”kata eyang sambil membelai kepalaku ternyata aku juga terkena demam,”Eyang, boleh ndak aku ngomong pakai bahasa Indonesia?”tatap ku memelas pada eyang,”boleh saja, asal jangan sampai ketahuan Eyang kakung”jawab eyang uti sambil tersenyum,” maaf Eyang, Diah kabur dari rumah, Diah ndak betah di rumah, soalnya Diah capek sama peraturan adat yang harus selalu Diah jalanin di rumah, lagi pula orang-orang rumah seperti tak menganggap Diah jadi anggota keluarga, belum lagi masalah Diah di sekolah sama teman-teman Diah, mereka pada ngejauhin Diah, karena Diah nggak tepat janji, sekarang Diah kabur dari rumah saja nggak ada yang nyariin”tak terasa saatku bercerita air mataku tumpah seketika, rasanya beban yang ku pendam selama ini hilang terbawa tsunami, eyang hanya tersenyum mendengar ceritaku. Pintu yang tadinya tertutup tiba-tiba terbuka, ternyata ibu, bapak, mas Suryo, dan Wita datang masuk kekamar yang ku tempati ini. Mereka semua langsung memeluk ku, air mata semua berjatuhan, perasaan ku bercampur aduk antara marah, senang, lega, dan takut. Tapi jujur aku sudah sangat senang karena semua keluargaku sudah berkumpul disini, dan aku bisa menumpahkan masalah yang selama ini terus menyiksaku.
“Selamat ulang tahun, dan bahagia…”semua yang berada dalam pesta ulang tahun kecil-kecilan ku bertepuk tangan, semua yang berada di ruangan ini tersenyum gembira dan memberi ku ucapan selamat. Di sini ada sahabat-sahabatku dan keluarga besarku. Hari ini adalah ulang tahunku, dan menurutku ini adalah hari yang paling membahagiakan selama hidupku. Sekarang umurku sudah 14 tahun, dan yang tak kuduga adalah aku mendapatkan kado sebuah handphone dari bapak dan ibu. Tenyata alasan aku tak diberi handphone adalah takut mengganggu kegiatan belajarku dan keluargaku takut aku hanya sibuk dengan handphoneku. Sebetulnya ini semua karena sifatku yang selalu menyimpan masalah sendirian dan aku tak pernah berbicara langsung pada orang-orang yang bermasalah denganku. Sekarang aku bebas menggunakan bahasa dalam percakapan dengan orang tua ku, bebas yang dimaksud adalah krama alus atau bahasa Indonesia yang penting sopan, setidaknya itu sangat mengurangi beban tentunya kalian masih ingat kan aku tak pandai berbahasa jawa krama alus, tapi setidaknya aku akan tetap berusaha memakai bahasa jawa yang baik dan benar karena aku tinggal di jawa, jadi aku pun harus menghargai budayaku sendiri. Sahabat-sahabatku juga sudah tak memusuhiku lagi karena mereka sudah mengerti mengapa aku selalu melanggar janji. Ibu membantuku menjelaskan pada mereka. Aku tak bisa berucap apa-apa lagi. Tak dapat terlukiskan dengan kata, senyum indah terkembang dari bibirku. Kini dapatku rasakan kehangatan sebuah keluarga sehangat sinar matahari yang dapat menghangatkan tubuhku ketika aku sedang dalam merasakan rasa dingin yang hebat dan sahabat yang selalu menyinariku saat ku sedang berada dalam kegelapan, walaupun aku masih merasa aneh dengan keluargaku tapi aku sayang dan sangat mencintai mereka.
0 comments:
Post a Comment